Perfilman kita seni tampa tradisi
Film memang merupakan rahmat terbesar yang terdapat dalam dunia hiburan, sekedar menginggatkan Film pertama kali dibuat dengan dibentuk sebagai gambar dua dimensi yang diperkenalkan di awal tahun 1860 dengan peralatan seperti zoetrope dan praxinoscope. Alat ini kemudian berkembang menjadi lebih besar dari sebuah alat optik yang sederhana menjadi sebuah alat yang mampu menunjukkan tampilan rangkaian gambar yang cukup cepat sehingga kemudian gambar terlihat seperti bergerak.
Saat ini Indonesia disemarakan dengan beberapa film layar lebar yang bertemakan horor. Trend ini berawal ketika Film Jelangkung yang di sutradarai oleh Rizal Mantovani mendapat sukses dipasaran. Hingga akhirnya membuat para pembikin film (produser) untuk membuat tema yang sama. Sebut saja Kuntilanak, Pocong, Sundel bolong atau suster Ngesot. Para Produser membuat film horor karena film horor saat ini sedang tren. Tampa memperdulikan tradisi perfilman Indonesia saat ini. Secara kuantitas perfilman Indonesia mengalami kemajuan tapi secara kualitas malah mengalami keterpurukan.
Merujuk Indra Tjahyadi “Perfilman kita saat ini adalah seni tampa Tradisi”. Jika kita menenggok sekitar tahun 1980-an banyak film kita yang sempat menjadi raja di negeri sendiri film yang berhasil merebut hati rakyat saat itu seperti Catatan si Boy, Galih Ratna, Pengantin remaja dan masih banyak film lain seperti si Kabayan yang diperankan oleh Didi Petet serta Jendral Naga Bonar oleh Dedy Mizwar (ini semua bukan film horor). Untuk bintang-bintang yang berjaya di tahun 80-an sebut saja antara lain, Didi Petet, Dedy Mizwar serta Roy Marteen.
Kenapa film-film diatas sempat melekat di hati para penggemar film, tak lain dan tak bukan karena film tersebut menampilkan seni perfilman yang memiliki tradisi. Tradisi itu adalah adanya suatu pengolahan cerita yang bagus dan kemampuan akting aktor atau aktrisnya yang benar-benar memiliki kualitas karena beberapa nama tersebut sebelum memulai karier mereka sebagai bintang film, mereka adalah pemain teater yang lebih dulu menguasai teknik dalam seni peran serta mengolah emosi penonton. Merujuk Gunawan Mohammad ketrampilan seorang aktor merupakan hal yang signifikan. Ketrampilan dalam memahami, menghayati, dan memainkan peran serta menghidupkan pertunjukan, untuk menjadikan pertunjukan tersebut menjadi suatu realitas tersendiri.
Kadang-kadang publik dikejutkan dengan adanya bintang baru dalam dunia film maupun sinetron, namanya banyak diperbincangkan media. Maka timbullah suatu pertanyaan apakah seorang pemain memerlukan latihan serta pendidikan untuk memegang suatu peranan dalam sebuah lakon? Kalau begitu apa sulitnya untuk jadi bintang film. Karena dalam film maupun sinetron sering kita lihat orang “dipungut” begitu saja dari jalanan (hanya diajari akting selama 4 bulan serta bagi yang berasal dari luar negeri selama itu pula harus menguasai bahasa Indonesia ) kemudian disuruh main. Hingga tercipta pendapat saat ini perfilman kita dipenuhi aktor ataupun aktris yang amatir dan sedikit sekali atau bahkan tidak menguasai teknik berakting sama sekali.
Bersepakat dengan yang dikatakan Usmar Ismail dalam seni peran, lebih-lebih lagi dari cabang seni lainnya penguasaan teknik adalah suatu syarat mutlak!. Teknik inilah yang memberikan perbedaan antara seorang yang main dan seorang pemain. Dengan penguasan teknik itulah seorang pemain menghadapi persoalan peranan yang bagaimanapun besarnya, namun akan dan menyelesaikannya dengan sempurna. Tampa penguasaan teknik yang demikian seorang yang dipungut dari jalan, meski bagaimanapun besarnya bakat yang dimilikinya, akan kandas jika disuruh membawakan peranan yang amat sulitnya. Bagi seorang yang bukan ahli, penilaian seorang pemain biasanya didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan yang sederhana, yaitu apakah seseorang itu kelihatannya bermain “kaku” atau “bebas”. Tidak selalu si penonton biasa ingin mendalami lebih jauh, apakah seorang pemain telah berhasil atau tidak dalam membawakan peranannya sebagai seharusnya di bawakan.
Seperti juga halnya dengan kesenian lainnya, maka penguasaan teknik sajalah tidaklah mampu membuat seseorang lantas menjadi seorang pemain yang baik. Teknik dapat dipelajari oleh semua orang yang memiliki kemauan dan yang mau mempelajarinya, tetapi yang tidak dapat dipelajari dan tidak dimiliki oleh semua orang adalah bakat. Bagaimana kita dapat mengetahui, bahwa seseorang punya bakat untuk jadi artis? Kepada mereka dihadapkan berbagai-bagai pertanyaan dan dirumuskan berbagai sistem untuk mengetahui sampai dimana mereka mempunyai bakat.
Berikut syarat-syarat yang terlontar dari usmar ismail pertama seorang calon aktor/aktris haruslah mempunyai kepekaan rohaniah yang besar tentang laku manusia dalam keadaan dan kejadian yang terlihat olehnya sehari-hari. Kedua perlulah dia mempunyai pengetahuan yang luas tentang laku psikologis manusia yang sewajarnya dalam hidupnya sehari-hari. Dia akan diminta memerankan berbagai ragam manusia dengan watak dan karakteristik yang berbeda-beda. Ketiga haruslah yakin tentang pekerjaan yang dipilihnya itu. Dia harus sadar sebelumnya bahwa jalan ke arah sukses yang sebenarnya bukanlah jalan datar yang di aspal dan bertaburkan mawar-melati. Bahkan di hadapannya terbentang hutan belantara yang penuh dengan percobaan, mara bahaya, kedudukan, kepelikan dan kekecewaan. Dia harusnya sadar bahwa sekali dia dibawa berhadapan dengan penontonnya dia harus sudah terbuka bagi puji dan puja yang lebih berbahaya lagi.
Keempat dia harusnya tahu bahwa dia memulai dari tangga paling bawah, pertama-tama dia harus tahu diri dan tahu bersikap sabar. Banyak waktu yang akan dilewatinya dengan hanya menyaksikan orang lain dan mendengar. Dan jika dia sudah jadi pemain, tidaklah dia selalu akan memperoleh peranan yang disukainya atau peranan yang besar seperti dikehendakinya. Kelima haruslah mempunyai tubuh yang sehat karena seorang aktor bekerja 24 jam sehari. Pada waktu tidur dan bangun, makan, minum dan mandi dia harus hidup dengan watak yang sadar diperankannya. Teranglah ketegangan itu akan memerlukan dari dia keuletan tubuh dan rohani yang luar biasa. Keenam sadar akan kemampuan tubuhnya. Tubuhnya di samping suaranya adalah alatnya yang paling utama sebagai peran. Ketujuh haruslah memiliki peralatan-peralatan suara yang sehat. Suatu kerusakan pada peralatan suaranya harus segera diatasi, baik secara medis ataupun secara latihan.
Berbeda dengan Stanivalsky dia pernah mengatakan seorang aktor harus mempunyai kontrol diri yang baik. Ini sangat penting karena kemampuan mengontrol diri tersebut diperlukan untuk menjaga agar permainannya tidaklah melintasi batas-batas permainan yang telah disepakati berdasarakan skenario selain itu juga berguna untuk tetap menjaga seorang aktor bermain dalam keadaan sadar. Pada akhirnya ijinkanlah saya menutup tulisan ini dengan mengutip apa yang dikatakan Will Rogers. “sebuah film memungkinkan seorang aktor tidak hanya untuk berperan tapi juga duduk menikmati pertunjukan dan bertepuk tangan untuk dirinya sendiri”.
Saat ini Indonesia disemarakan dengan beberapa film layar lebar yang bertemakan horor. Trend ini berawal ketika Film Jelangkung yang di sutradarai oleh Rizal Mantovani mendapat sukses dipasaran. Hingga akhirnya membuat para pembikin film (produser) untuk membuat tema yang sama. Sebut saja Kuntilanak, Pocong, Sundel bolong atau suster Ngesot. Para Produser membuat film horor karena film horor saat ini sedang tren. Tampa memperdulikan tradisi perfilman Indonesia saat ini. Secara kuantitas perfilman Indonesia mengalami kemajuan tapi secara kualitas malah mengalami keterpurukan.
Merujuk Indra Tjahyadi “Perfilman kita saat ini adalah seni tampa Tradisi”. Jika kita menenggok sekitar tahun 1980-an banyak film kita yang sempat menjadi raja di negeri sendiri film yang berhasil merebut hati rakyat saat itu seperti Catatan si Boy, Galih Ratna, Pengantin remaja dan masih banyak film lain seperti si Kabayan yang diperankan oleh Didi Petet serta Jendral Naga Bonar oleh Dedy Mizwar (ini semua bukan film horor). Untuk bintang-bintang yang berjaya di tahun 80-an sebut saja antara lain, Didi Petet, Dedy Mizwar serta Roy Marteen.
Kenapa film-film diatas sempat melekat di hati para penggemar film, tak lain dan tak bukan karena film tersebut menampilkan seni perfilman yang memiliki tradisi. Tradisi itu adalah adanya suatu pengolahan cerita yang bagus dan kemampuan akting aktor atau aktrisnya yang benar-benar memiliki kualitas karena beberapa nama tersebut sebelum memulai karier mereka sebagai bintang film, mereka adalah pemain teater yang lebih dulu menguasai teknik dalam seni peran serta mengolah emosi penonton. Merujuk Gunawan Mohammad ketrampilan seorang aktor merupakan hal yang signifikan. Ketrampilan dalam memahami, menghayati, dan memainkan peran serta menghidupkan pertunjukan, untuk menjadikan pertunjukan tersebut menjadi suatu realitas tersendiri.
Kadang-kadang publik dikejutkan dengan adanya bintang baru dalam dunia film maupun sinetron, namanya banyak diperbincangkan media. Maka timbullah suatu pertanyaan apakah seorang pemain memerlukan latihan serta pendidikan untuk memegang suatu peranan dalam sebuah lakon? Kalau begitu apa sulitnya untuk jadi bintang film. Karena dalam film maupun sinetron sering kita lihat orang “dipungut” begitu saja dari jalanan (hanya diajari akting selama 4 bulan serta bagi yang berasal dari luar negeri selama itu pula harus menguasai bahasa Indonesia ) kemudian disuruh main. Hingga tercipta pendapat saat ini perfilman kita dipenuhi aktor ataupun aktris yang amatir dan sedikit sekali atau bahkan tidak menguasai teknik berakting sama sekali.
Bersepakat dengan yang dikatakan Usmar Ismail dalam seni peran, lebih-lebih lagi dari cabang seni lainnya penguasaan teknik adalah suatu syarat mutlak!. Teknik inilah yang memberikan perbedaan antara seorang yang main dan seorang pemain. Dengan penguasan teknik itulah seorang pemain menghadapi persoalan peranan yang bagaimanapun besarnya, namun akan dan menyelesaikannya dengan sempurna. Tampa penguasaan teknik yang demikian seorang yang dipungut dari jalan, meski bagaimanapun besarnya bakat yang dimilikinya, akan kandas jika disuruh membawakan peranan yang amat sulitnya. Bagi seorang yang bukan ahli, penilaian seorang pemain biasanya didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan yang sederhana, yaitu apakah seseorang itu kelihatannya bermain “kaku” atau “bebas”. Tidak selalu si penonton biasa ingin mendalami lebih jauh, apakah seorang pemain telah berhasil atau tidak dalam membawakan peranannya sebagai seharusnya di bawakan.
Seperti juga halnya dengan kesenian lainnya, maka penguasaan teknik sajalah tidaklah mampu membuat seseorang lantas menjadi seorang pemain yang baik. Teknik dapat dipelajari oleh semua orang yang memiliki kemauan dan yang mau mempelajarinya, tetapi yang tidak dapat dipelajari dan tidak dimiliki oleh semua orang adalah bakat. Bagaimana kita dapat mengetahui, bahwa seseorang punya bakat untuk jadi artis? Kepada mereka dihadapkan berbagai-bagai pertanyaan dan dirumuskan berbagai sistem untuk mengetahui sampai dimana mereka mempunyai bakat.
Berikut syarat-syarat yang terlontar dari usmar ismail pertama seorang calon aktor/aktris haruslah mempunyai kepekaan rohaniah yang besar tentang laku manusia dalam keadaan dan kejadian yang terlihat olehnya sehari-hari. Kedua perlulah dia mempunyai pengetahuan yang luas tentang laku psikologis manusia yang sewajarnya dalam hidupnya sehari-hari. Dia akan diminta memerankan berbagai ragam manusia dengan watak dan karakteristik yang berbeda-beda. Ketiga haruslah yakin tentang pekerjaan yang dipilihnya itu. Dia harus sadar sebelumnya bahwa jalan ke arah sukses yang sebenarnya bukanlah jalan datar yang di aspal dan bertaburkan mawar-melati. Bahkan di hadapannya terbentang hutan belantara yang penuh dengan percobaan, mara bahaya, kedudukan, kepelikan dan kekecewaan. Dia harusnya sadar bahwa sekali dia dibawa berhadapan dengan penontonnya dia harus sudah terbuka bagi puji dan puja yang lebih berbahaya lagi.
Keempat dia harusnya tahu bahwa dia memulai dari tangga paling bawah, pertama-tama dia harus tahu diri dan tahu bersikap sabar. Banyak waktu yang akan dilewatinya dengan hanya menyaksikan orang lain dan mendengar. Dan jika dia sudah jadi pemain, tidaklah dia selalu akan memperoleh peranan yang disukainya atau peranan yang besar seperti dikehendakinya. Kelima haruslah mempunyai tubuh yang sehat karena seorang aktor bekerja 24 jam sehari. Pada waktu tidur dan bangun, makan, minum dan mandi dia harus hidup dengan watak yang sadar diperankannya. Teranglah ketegangan itu akan memerlukan dari dia keuletan tubuh dan rohani yang luar biasa. Keenam sadar akan kemampuan tubuhnya. Tubuhnya di samping suaranya adalah alatnya yang paling utama sebagai peran. Ketujuh haruslah memiliki peralatan-peralatan suara yang sehat. Suatu kerusakan pada peralatan suaranya harus segera diatasi, baik secara medis ataupun secara latihan.
Berbeda dengan Stanivalsky dia pernah mengatakan seorang aktor harus mempunyai kontrol diri yang baik. Ini sangat penting karena kemampuan mengontrol diri tersebut diperlukan untuk menjaga agar permainannya tidaklah melintasi batas-batas permainan yang telah disepakati berdasarakan skenario selain itu juga berguna untuk tetap menjaga seorang aktor bermain dalam keadaan sadar. Pada akhirnya ijinkanlah saya menutup tulisan ini dengan mengutip apa yang dikatakan Will Rogers. “sebuah film memungkinkan seorang aktor tidak hanya untuk berperan tapi juga duduk menikmati pertunjukan dan bertepuk tangan untuk dirinya sendiri”.
No comments:
Post a Comment