Friday, June 4, 2010

Alice in wonderland

Film yang menghabiskan dana sebesar US$200 juta untuk biaya produksinya ini dibuka dengan sebuah flashback masa kecil Alice yang bermimpi tentang makhluk-makluk aneh. Alice tumbuh dengan pandangan bahwa mimpi yang ia alami hanyalah sebuah bunga tidur, sampai ia melihat seekor kelinci berusaha menarik perhatiannya. Alih-alih menerima pinangan seorang bangsawan, Alice memutuskan mengikuti kelinci tersebut, yang ternyata membawanya kembali ke Wonderland. Sekali lagi, ia kembali ke dunia yang sebenarnya pernah ia datangi saat ia masih kecil dulu. Dan sekali lagi, ia melewatii pertualangan yang sama dan bertemu orang-orang yang sebenarnya sudah ia kenal. Tim Burton cukup berhasil memasukkan unsur gothic yang merupakan ciri khas penyutradaannya dengan sangat baik. Suasana kelam terlihat sangat menawan dalam balutan warna-warni para makluk-makhluk aneh yang ada di Wonderland. Beberapa perubahan yang dilakukan agar terlihat lebih dewasa pun tidak mengganggu alur kisah orisinil yang sudah banyak diketahui panonton. Walaupun berhasil membangun dunia Wonderland dengan sangat baik, Burton gagal total dalam membagun karakter dan cerita yang menarik. Salah satu tantangan dalam mengadaptasi sebuah kisah klasik adalah menyajikan cerita yang mungkin sudah dihapal orang secara menarik, dan Alice in Wonderland benar-benar berhasil membuat mengantuk orang yang menontonnya. Walaupun kisah Alice mengalami beberapa penyesuaian, inti cerita yang diusung hampir sama persis dengan cerita asli maupun adaptasi-adaptasi sebelumnya. Tensi ketegangan film terasa sangat datar dari awal hingga menjelang akhir. Apabila tidak didukung music score yang menghentak saat adegan pertempuran puncak, maka lengkap lah Alice menjadi film nina bobo bagi yang menonton. Hal ini diperparah dengan konsep karakter yang terasa sudah tidak asing apabila berbicara tentang film Burton. Depp yang memerankan Mad Hatter terlihat freak, tapi sayang, peran seperti ini bukan barang baru bagi Depp. Hampir seluruh pemain membawakan peran mereka di bawah rata-rata, khususnya aktris Mia Wasikowska yang terlihat seperti pemain amatiran tanpa penjiwaan. Satu-satunya pemain yang layak pendapat kredit khusus terkait aktingnya adalah si Kepala Besar Helena Bonham Carter yang untuk kesekian kalinya berhasil membuktikan bahwa peran yang ia dapatkan bukanlah karena ia pasangan sang sutradara. Carter benar-benar berhasil menyatu dengan karakter Red Queen yang terlihat semena-mena dan menyebalkan. Efek 3D? Sesaat keluar dari bioskop, hampir pasti Anda akan menyesal dan berharap untuk memiliki sebuah mesin waktu agar dapat kembali ke momen Anda membeli tiket untuk memilih versi regular 2D saja. Hampir di semua adegan gambar terlihat flat, efek berlapis yang biasanya ada hanya muncul dalam beberapa adegan saja. Sedangkan untuk adegan keluar dari layar, hanya sedikit adegan yang benar-benar memanjakan mata, seperti saat Alice jatuh ke lubang kelinci serta adegan kemunculan Cheshire Cat yang membuat Anda serasa ingin memegangnya. Selebihnya? Blame Cameron because make Alice in Wonderland 3D effect look suck.





No comments:

Post a Comment